BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia telah berubah sejak beberapa decade yang lalu, bahkan di beberapa tahun terakhir keadaan menjadi sangat lebih rumit jika dibandingkan dengan keadaan pada zaman-zaman dahulu dimana semuanya masih berbau tradisional dan semua serba menggunakan tenaga manusia. Globalisasi telah merambah di berbagai sector di berbagai Negara, bukan hanya Negara maju, melainkan juga Negara-negara dunia ketiga. Globalisasi juga tidak hanya masuk dalam tataran teknologi informasi dan komunikasijuga, tetapi globalisasi telah masuk dalam celah besar di perekonomian di berbagai Negara di dunia ini.
Perubahan di berbagai kegiatan bisnis pun sudah terjadi mengikuti arus globalisasi tersebut. Bukan hanya pemerintah saja yang mengadakan hubungan ke luar negeri, melainkan juga para pebisnis-pebisnis multinasional melakukannya pula. Bahkan, para penusaha home industry sudah melakukan penjualan sampai ke luar negeri. Perubahan ini menuntut gerak cepat para pebisnis untuk segera melakukan penyesuaian-penyesuaian, sehingga mereka akan mampu bersaing dalam perdagangan, terutama perdagangan internasional dalam kaitan globalisasi ini. Produksi pun harus lebih cepat lagi dilakukan sehingga kebutuhan manusia dapat dipenuhi, apalagi produksi yang sifatnya saangat diperlukan oleh masyarakat banyak. Ini menuntut para pengusaha untuk melakukan pabrikasi dengan tenaga yang labih modern lagi, yaitu dengan robot. Tenaga-tenaga manusia pun menjadi pelengkap saja untuk produksi yang mungkin lebih baik jika dikerjakan oleh manusia. System tradisional yang digunakan untuk membebankan biaya ternyata juga dianggap gagal membebankan secara akurat biaya-biaya sumber daya pendukung yang kemudian tergantikan dengan system yang lebih modern, misalnya Activity Base Costing atau system biaya modern dimana biaya yang ditimbulkan berdasarkan pada aktivitas yang terjadi.
Fenomena globalisasi ini juga menyebabkan perusahaan menjadikan proses produksinya dalam departemen-departemen produksi. Hal ini mungkin tak akan menjadi sulit apabila hanya terjadi dalam sebuah perusahaan dan hanya terjadi dalam sebuah Negara saja karena beban-beban serta biaya-biaya yang dikeluarkan akan lebih mudah terukur. Namun, hal ini akan menjadi lebih sulit apabila suatu perusahaan ternyata memiliki berbagai cabang yang terletak tidak hanya di satu Negara,tetapi juga di Negara lain—dan itulah yang terjadi saat ini. Perusahaan yang seperti itu akan sangat sulit menentukan harga penjualan dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengawasan dan pengukuran kinerja perusahaan. Oleh karena itulah, dilakukanlah sebuah kegiatan yang disebut sebagai transfer pricing dalam rangka penentuan harga tersebut.
Saat mendengar kata transfer pricing, mungkin yang selalu ada di benak kita adalah sebuah hal pemanipulasian data atau kejahatan perusahaan multinasional. Namun, pada hakikatnya transfer pricing bukanlah itu saja. Transfer Pricing adalah sebuah cara yang digunakan perusahan untuk kepentingan usahanya agar semuanya dapat diawasi dengan baik tentunya karena disini kinerja semua divisi akan terlihat. Namun, beberapa tahun belakangan ini banyak sekali ditemukan berbagai praktek illegal dalam transfer pricingtersebut. Transfer Pricing digunakan oleh beberapa perusahaan multinasional untuk mengecilkan pajaknya dan membuat beberapa Negara mengalami kerugian dalam penerimaan pajak, terutama Indonesia yang memang mengandalkan pajak dalam APBN nya.
Untuk mengetahui berbagai hal mengenai transfer pricing dan segala speknya, kami menyusun makalah ini disertai pembahasan kasus transfer pricing yang telah mencuat dua tahun yang lalu. Menariknya lagi, transfer pricing ini merupakan kasus transfer pricing yang paling besar di negeri Indonesia selama ini. Kasus ini adalah kasus transfer pricing PT Asiam Agri Grup yang merupakan anak usaha Garuda Mas milik konglomerat Sukanto Tanoto.
B. Tujuan
Makalah ini kami susun dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan definisi transfer pricing;
2. Memaparkan konsep dan tujuan transfer pricing yang benar;
3. Memaparkan penyalahgunaan transfer pricing yang dapat merugikan berbagai pihak; dan
4. Menjelaskan cara-cara penanganan kasus-kasus berkaitan transfer pricing.
5. Memberikan gambaran kasus transfer pricing yang terjadi di lapangan.
C. Manfaat
Dengan disusunnya makalah ini, manfaat yang diharapkan untuk pembaca adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi transfer pricing;
2. Mengetahui konsep transfer pricing yang benar;
3. Mengetahui praktek-praktek illegal dalam transfer pricing ; dan
4. Mengetahui serta memahami penanganan transfer pricing yang sudah umum diterapkan di berbagai Negara.
5. Memahami kasus transfer pricing dan memahami secara dasar penanganan kasus bersangkutan.
D. Ruang Lingkup
Dalam pembahasan makalah ini, kami memaparkan transfer pricing secara umum yang ada di berbagai Negara di dunia. Untuk penanganan kasusnya, kendati penanganannya di setiap Negara itu hamper sama—hanya berbeda peraturannya—tetapi, kami memfokuskan pembahasan penanganan kasusnya untuk di Indonesia. Kami juga membatasi pembahasan kasus yang terjadi di Indonesia dengan menggunakan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Korporasi Multinasional dalam Globalisasi Ekonomi
Santoso (2004:124) mengutip dari Kavaljit Singh bahwa globalisasi digambarkan sebagai suatu proses saling ketergantungan ekonomis yang terus berkembang di antara negara-negara di dunia dengan cirri;
1. pertumbuhan transaksi keuangan dan perdagangan internasional yang cepat, terutama di antara perusahaan-perusahaan transasional,
2. gelombang investasi asing langsung (foreign direct investment) yang mendapat dukungan luas dari kalangan perusahaan transnasional,
3. timbulnya pasar global, serta
4. penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi system transportasi dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia.1)
Globalisasi telah membawa dampak semakin meningkatnya transaksi transnasional atau cross border transaction. Arus barang, jasa, modal, dan tenaga kerja juga semakin mudah dan lancar antar negara. Belum lagi dengan kehadiran WTO (World Trade Organization) yang memfasilitasi perdagangan transnasional tersebut.
1)Imam Santoso,Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing dari Persperkstif Perpajakan Indonesia (http://puslit.petr- a.ac.id/puslit/journals,2004), hal.124
Sesuai dengan fungsinya, WTO membuat hambatan-hambatan yang ada di sebuah Negara—dalam hal perdagangan—menjadi lebih kecil atau bahkan menghilangkan hambatan tersebut dengan berbagai perjanjian yang telah disepakati oleh anggota WTO. Melalui itu semua, perusahaan saat ini tidak lagi membatasi kegiatan usahanya hanya pada satu negara saja, tetapi sudah merambah jauh sampai ke berbagai negara. Perusahaan-perusahaan ini pada akhirnya bekerja dengan membuka berbagai cabang di berbagai negara, bukan hanya dalam satu benua saja, melainkan juga lintas benua.
Dengan semua itu—keterbukaan pasar dunia, kemudahan bahan baku, dan aspek lainnya—akhirnya lahirlah sebuah era korporasi multinasional—jika boleh penulis sebut demikian—dan membuat dunia ini seolah-olah berada pada sebuah pasar tunggal yang tak asing lagi satu dengan yang lainnya. Kata “jual-beli” hanya digantikan oleh kata “ekspor-impor” dan beberapa hal lainnya. Beberapa korporasi multinasional yang telah merambah ke Indonesia antara lain General Motors and Ford, Esso, Shell, British Petroleum, McDonald, Kentucky, AT&T, dan International News Corporation. Lahirnya korporasi multinasional tentunya mempunyai berbagai dampak, baik positif maupun negative dan semuanya berada pada lingkup yang berbeda sudut pandangnya.
Dari sudut pandang positif—yakni dampak positifnya—dengan adanya korporasi multinasional ini, investasi dapat tersebar di berbagai Negara di dunia, bahkan mungkin yang belum maju sekalipun, karena tujuan mereka salah satunya adalahpengembangan wilayah dan pencarian pangsa pasar dunia. Dari sisi penerimaan negara, dengan adanya korporasi multinasional, penerimaan dari sector pajak dan non pajak juga akan lebih meningkat dibandingkan dengan tanpa adanya korporasi seperti ini. Ini berkaitan dengan perlakuan korporasi multinasional sebagai subjek pajak luar negeri atau BUT.
Dari kacamata negative, dampak korporasi multinasional ini juga sangat beragam—bahkan mungkin lebih banyak diketahui dibandingkan dengan efek positifnya. Munculnya korporasi multinasional, khususnya di Indonesia, membawa beberapa negative effect yang beragam, tergantung bidang yang digeluti oleh perusahaan bersangkutan. Sebut saja Nike. Perusahaan sepatu ini telah melanggar hak-hak pekerjanya. Mereka memperlakukan pekerjanya secara tidak layak dengan gaji yang sangat minim. Perkins (2007:81) dalam bukunya Pengakuan Bandit Ekonomi menuliskan :2)
“Para pekerja Nike menjalani hidup sengsara dan tidak sehat. Hidup yang tidak bisa dibayangkan kebanyakan orang Amerika. Tapi masyarakat Indonesia yang kaya, bersama dengan orang-orang asing menikamati kehidupan mewah. … “orang-orang Nike tahu biaya memproduksi setiap sol dan tali sepatu hingga hitungan sen. Mereka menekan dan menekan , memaksa para pemilik pabrik mempertahankan biaya produksi minimum. Pada akhirnya, pemilik pabrik kebanyakan orng Cina terpaksa menerima keuntungan kecil.”
Bukan hanya masalah social, eksistensi korporasi multinasional ini juga menimbulkan eksploitasi yang lebih besar terhadap lingkungan, terutama di Indonesia. Kekayaan alam Indonesia sudah terkenal di seluruh dunia. Cadangan minyak dan berbagai kekayaan lain ada banyak di Indonesia beberapa tahun yang lalu, bahkan mungkin saat ini juga masih banyak. John Perkins (2007) dalam tulisan-tulisannya juga banyak menceritakan bagaimana mereka bekerja untuk perusahaan-perusahaan multinasional agak mereka dapat berkembang dan mengeksploitasi di Indonesia. Hal ini dalam bukunya disebut sebagai upaya korporatokrasi.
2)John Perkins,Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga (Jakarta:Ufuk Press), hal. 81
Karena perusahaan mulinasional ini bekerja dengan berbagai cabang maupun divisi yang terdapat di berbagai negara di belahan dunia, maka dalam prakteknya, mereka melakukan suatu upaya yang disebut transfer pricing, yaitu suatu upaya untuk menetapkan harga. Transfer pricing ini pun juga telah menuai banyak sekali masalah di berbagai negara karena dalam prakteknya, mereka menggunakan hal-hal yang sangat bertentangan dengan aturan yang ada. Dalam subpembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai segala aspek berhubugan dengan transfer pricing.
B. Definisi Transfer Pricing
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi anntar anggota grup dalam sebuah perusahaan multinasional dimana harga transfer yang ditentutkan tersebut dapat menyimpang dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi grupnya. Mereka dapat menyimpang dari harga pasar wajar karena posisi mereka yang berada dalam keadaan bebas untuk mengadopsi prinsip apapun yang tepat bagi korporasinya. In a multinational enterprise (MNE) many transaction normally take place between members of the group. The price charged for such transfer do not necessarily represent a result of the free play of market forces, but may, for a number of reasons and because the MNE is in a position to adopt whatever piciple is convenient to its as a group.3)(OECD 1979:7)
Simamora dalam Mangoting (2000:70), transfer pricing didefinisikan sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division).4)Transfer
3)OECD Committee on Fiscal Affairs,Transfer Pricing and Multinational Enterprises (Paris:OECD), hal.7
4)Yeni Mangonting, Aspek Perpajakan Dalam Praktik Transfer Pricing (http://pulit.petra.ac.id/journals/accounting2000),hal.70
pricing juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antaranggota. Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk intermediet yang merupakan barang-barangg dan jasa yang dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli.
Gunadi, dalam Santoso (2004:127), mengatakan bahwa dalam arti yang lebih luas, transfer pricing termasuk penentuan harga antara beberapa entitas yang secara hukum pemiliknya bisa sama ataupun berbeda.5) Jerry M. Rosenburg dalam Santoso (2004:126) mengungkapkan bahwa transfer pricing adalah the price charged by one segment f an organization for a product or service it supplies to another part of the same firm ‘transfer pricing adalah harga yang ditentukan oleh satu bagian dari sebuah organisasi atas penyerahan barang atau jasa yang dilakukannya kepada bagian lain dari organisasi yang sama’6)
5)Imam Santoso,op. cit.,hal.127
6)Ibid.,hal. 126
C. Tujuan Transfer Pricing
1. Tujuan Dari Pandangan Ahli
Tujuan penetapan harga transfer,sebagaimana dikutip Mangonting (2000:71) dari Simamora , adalah untuk mentransmisikan data keuangan diantara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain.7)Selain tujuan tersebut, Mangonting (2000:71) juga mengutip dari Joshua Ronen dan George McKinney, transfer pricing juga digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy three objectives : accurate performance evaluation, goal congruence, and preservation of divisional autonomy.8)
Dalam lingkup perusahaan multinasional, Hansen dan Mowen (1996:496) mengatakan bahwa transfer pricing juga digunakan untuk meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan di seluruh dunia. Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is particulary true for multinational corporations.9)
2. Tujuan Umum
Secara umum, tujuan transfer pricing yang ingin dicapai perusahaan multinasional adalah :
a) Performance evaluation
Salah satu alat yang dipakai oleh banyak perusahaan dalam menilai kinerjanya adalah menghitung tingkat Return On Investment.Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi berbeda dengan divisi lainnya.
7)Yeni Mangonting,op. cit., hal.71
8)Ibid.
9)Ibid.
Misalnya, divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan meningkatkan income—yang secara otomatis akan meningkatkan ROI-nya—tetapi di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang nantinya akan berakibat pada peningkatan income yang berarti juga penigkatan dalam ROI. Hal semacam inilah yang terkadang membuat transfer pricing berada di posisi terjepit. Oleh karena itu, induk perusahaan akan sangat berkepentingan dalam penetuan harga transfer.
b) Optimal Determination of Taxes
Tarif pajak antara satu negara dengan negara lainnya berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh linkungan ekonomi, soisal, politik, dan budaya yang berlaku dalam negara tersebut. Dengan penentuan harga transfer ini, diharapkan pajak dapat dimanage sedemikian rupa sehingga pengenaan pajak tidak akan terlalu tinggi. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan manipulasi dan praktek curang dalam transfer pricing. OECD melaporkan, factor pajak dapat menjadi pemicu dilakukannya transfer pricing terutama jika tujuan mereka lebih terfokus pada jumlah total laba setelah pajak daripada bentuk darimana mereka mendapatkan laba tersebut—apakah berbentuk royalty, biaya, imbalan jasa, keuntungan penjualan antardivisi atau dividen dari afiliasinya,dll. ‘Tax factor may effect the nature and the amount of the payment since it is likely that MNEs will be more concerned with the total of their net earning after tax than with the forms which these earnings take—whether for example they are received as royalties, cost charges, service fees, profit from intra-group sales or dividends from their affiliates,etc’ (OECD 1979).
D. Transfer Pricing dan Korporasi Multinasional
1. Transfer Pricing dalam Korporasi Multinasional
Sebagaimana dikutip Santoso (2004:126) dari Gunadi, Korporasi multinasional didefinisikan sebagai perusahaan yang beroperasi di berbagai negara dengan membuka cabang, mengorganisasikan anak perusahaan, atau melakukan kontrak keagenan10). Menurut Gunadi, dalam Santoso (2004:126), transfer pricing yang dilakukan yang dilakukan perusahaan multinasional tergolong dalam transfer pricing transnasional. Transfer pricing transnasional berkenaan dengan transaksi antardivisi dalam suatu entitas hukum atau antarentitas legal dalam satu entitas ekonomi yang meliputi berbagai wilayah, sedangkan transfer pricing domestic berhubungan dengan penghitungan harga transfer barang atau jasa antarbadan dalam satu grup korporasi besar atau antardivisi dalam satu korporasi dalam satu wilayah .11)
Dalam aspek manajemen keuangan, sebagaimana yang diungkapkan Shapiro dalam Santoso (2004:126), transfer pricing dapat merupakan instrument perencanaan dan pengendalian mekanisme arus sumber daya entitas ekonomi bagi perusahaan secara keseluruhan12). Gunadi dalam Santoso(2004:127) menuturkan, Untuk keperluan perencanaan dan pengendalian manajerial, suatu entitas legal atau entitas ekonomi (beberapa entitas legal yang berada dalam kepemilikan atau penguasaan yang sama) dapat dipecah menjadi beberapa pusat responsibilitas (tanggung jawab). Pusat ini dapat berupa divisi, departemen atau suatu entitas legal dalam jaringan entitas ekonomi.
10)Imam Santoso, op. cit., hal.126
11)Ibid.
12)Ibid.
Pusat tersebut merupakan suatu lokasi aktivitas yang manajernya mendapat delegasi otoritas pengendalian dan oleh karenanya mempunyai tanggung jawab atas aktivitas tersebut selama masa tertentu13). Gunadi dalam Santoso (2004:127) menuliskan juga tentang empat macam pusatresponsibilitas, yaitu :
a) Pusat biaya (cost center )
Suatu pusat responsibilitas yang manajernya mempunyai pengaruh—dan oleh karenanya bertanggung jawab—atas biaya yang dapat ditimbulkan oleh suatu center ‘pusat’ atau investasi yang mendatangkan penghasilan
b) Pusat penghasilan (revenue centre)
Suatu pusat responsibilitas yang manajernya bertanggung jawab atas pengendalian penghasilan yang diproduksi oleh centernya.
c) Pusat laba (profit center)
Suatu pusat responsibilitas yang manajernya bertanggung jawab untuk mengendalikan biaya maupun penghasilan.
d) Pusat investasi (investment centre)
Suatu pusat responsibilitas yang mangernya mempunyai pengaruh atas biaya, penghasilan, dan perencanaan serta pengendalian investasi (Gunadi, 1994:9).
Gunadi menambahkan, cost center dan revenue center hanya bertanggung jawab atas satu hal, biaya atau penghasilan, saja, sedangkan manajer profit center bertanggung jawab atas keduanya, dan manajer investment center selain bertanggung jawab atas laba juga bertanggung jawab atas investasi.14)
13)Ibid. hal. 127
14)Ibid.
Dengan memepertimbangkan atribut entitas, kata Gunadi dalam Santoso (2004:127), kita dapat menarik perbedaan antara intracompany transfer dengan intercompany transfer. Intracompany merujuk pada transfer antardivisi pada satu entitas, sedangkan intercompany mengacu pada transfer antarentitas dalam satu keluarga besar perusahaan (Gunadi 1994)15). Transfer antardivisi pada satu entitas tersebut maksudnya adalah transfer antardivisi dalam satu perusahaan yang terbagi ke dalam beberapa divisi, sedangkan transfer antarentitas dalam satu keluarga besar perusahaan maskdunya adalah transfer yang dilakukan antara perusahaan satu dengan perusahaan lainnya yang masih berada dalam satu grup perusahaan. Korporasi multinasional dengan perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu entitas ekonomi adalah perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kepemilikan atau penguasaan yang sama dan dikendalikan oleh perusahaan induk di kantor pusat. Perusahaan induk ini pula yang berwenang menentukan transfer pricing yang berlaku dalam perdagangan internasional antarmereka (anak perusahaan). Dalam hal ini, transfer pricing merupakan piranti pengukur hak dan kewajiban yang sangat penting diantara anak perusahaan, sehingga secara artificial, transfer pricing dapat menyimpang dari harga yang normal atau benar.16)
2. Dampak Transfer Pricing dalam Perusahaan
Transferpricing ini memberikan dampak terhadap divisi-divisi yang terlibat dalam transfer pricing, antara lain :
15)Ibid.
16)Ibid.
a) Dampak Terhadap Ukuran Kinerja Divisi
Harga yang dikenakan untuk barang yang ditransfer memengaruhi biaya divisi pembeli dan pendapatan divisi penjual. Artinya, laba kedua divisi tersebut sebagaimana juga evaluasi dan kompensasi para menejer mereka, diperngaruhi oleh harga transfer.
b) Dampak Terhadap Keuntungan Perusahaan
Meskipun harga transfer actual tidak memengaruhi perusahaan sebagai satu kesatuan, penetapan harga transfer ternyata mampu memengaruhi tingkat laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Jika ia memengaruhi perilaku divisi dan ia memengaruhi pajak penghasilan, divisi-divisi yang bertindak secara independent mungkin menetapkan harga transfer yang memaksimalkan laba devisi, tetapi menimbulkan pengaruh sebaliknya bagi laba perusahaan secara keseluruhan.
3. Metode Transfer Pricing
Prinsip dasar dalam penetapan harga transfer adalah bahwa harga transfer sebaiknya serupa dengan harga yang akan dikenakan seandainya produk tersebut dijual ke konsumen luar atau dibeli dari pemasok luar.
Jika ditinjau dari segi ekonomi dan manajemen, konsep dasar hara transfer adalah :
a) Dari segi ekonomi
Hirshleifer dalam Cox, Howe, dan Boyd, transfer price should be the marginal cost of the selling division in order to maximaze the firm’s profit as a whole (Cox et al. 1997:20-29)17). Jadi prisip dasar dari transfer harga adalah memaksimalkan laba perusahaan.
17)James Cox, F. Howe, dan Lynn H Boyd,Transfer Pricing Effects on Locally Measured Organizations (Industrial Management,1997), hal. 20-29
Sehingga, perusahaan harus secraa berkala menjual produk sampai dengan titik dimana tambahan biaya karena adanya tambahan unit yang diproduksi dan dijual—disebut marginal cost—lebih lebih rendah dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh dari penjualan unit tersebut (marginal revenue). Dalam hal penentuan hara untuk perusahaan yang terintegrasi , harga harus ditentukan berdasarkan marginal cost produsen.
b) Dari segi manajemen
Robert dan Govindarajan, dalam Santoso(2004:129), mendefinisikan bahwa the term of transfer pricing is a value placed on a transfer of goods and services between in transaction in which at least one of the two parties involved is a profit center (Robert and Govindarajan, 1998)18). Sehingga, transfer pricing lebih ditujukan untuk mengukur kinerja divisi , laba perusahaan secraa keseluruhan , dan otonomi divisi dan menilai motivasi dan performance setiap divisi/unit bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan.
Dalam penentuan tersebut, perusahaan-perusahaan divisionalisasi/departementasi menggunakan beberapa metode, diantaranya :
a) Harga Transfer atas Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas dasar biaya variable dan tetap yang bisa dalam 3 pemeliharaan bentuk, yaitu biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambahkan mark-up (full cost plus mark-up), dan gabungan antara biaya variable dan tetap (variable cost plus fixed fee).
18)Imam Santoso, op. cit., hal.129
b) Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah yang merupakan ukuran paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun, keterbatasan informasi pasar terkadang menjadi kendala dalam menggunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.
c) Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Pricing)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divis-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.
E. Praktik Transfer Pricing Perusahaan Multinasional
Keputusan bisni sebuah perusahaan sebagian besar juga dipengaruhi oleh pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Upaya meminimalisasi beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang masih berada dalam bingkai peraturan perpajakn sampai dengan yang melanggar peraturan perpajakan. Meminimalisasi pajak secara baik—yang berarti tidak melanggar peraturan perpajakan—sering disebut dengan perencanaan pajak atau tax planning atau tax sheltering. Perencanaan pajak merujuk pada suatu proses rekayasa usaha dan tansaksi wajib pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Perencanaan pajak seperti ini masuk dalam kategori tax avoidance. Natawisastra (2006:5) dalam tesisnya menuliskan bahwa transfer pricing merupakan bentuk perencanaan pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan. Namun, disisi lain praktik transfer pricing dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan, sebagaimana diatur dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana. Hal ini mempertegas bahwa praktik transfer pricing dapat dikategorikan sebagai penghindaran pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan—dalam rangka perencanaan pajak yang baik—dan juga merupakan praktik illegal yang semata-mata menghindari pajak untuk merugikan negara. Semuanya tergantung dari hasil pemeriksaan lapangan.19)
Praktik transfer pricing sebenarnya telah terjadi di banyak perusahaan, baik perusahaan domestic maupun multinasional asalkan perusahaan tersebut melakuakn produksi atau kegiatannya dalam departemen-departemen atau divisi-divisi. Hanya saja, efek terhadap pajak dalam hal ini tidak sama. Perusahaan yang hanya beroperasi di satu negara saja tidak akan memeberikan efek ke pajak yang sangat signifikan dalam rangka transfer pricing. Hal ini karena tariff pajak yang digunakan adalah sama. Lain halnya jika dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan beberapa cabang di berbagai negara. Transfer pricing ini akan sangat signifikan pengaruhnya dalam penerimaan pajak. Hal ini karena perbedaan tariff pajak yang ada di berbagai negara.
Suatu transfer pricing dapat terjadi karena suatu hubungan istimewa atau afiliasi antara anggota dalam suatu grup perusahaan multinasional. Suatu transfer pricing sedikitnya melibatkan dua pihak yang melakukan transaksi, yaitu pihak yang melakukan transfer atau transferor dan pihak yang menerima transfer atau transferee. Dengan adanya hubungan istimewa ini, perusahaan multinasional—sebagaimana metode yang digunakan dalam penentuan harga, yakni metode negosiasi—dapat melakuakn negosiasi dalam penentuan harga transaksinya.
19)Deden N. Natawisastra, Pengaturan Terhadap Pencegahan Praktik Penghindaran Pajak Oleh Perusahaan Multinasional Melalui Transfer Pricing Dalam Kerangka Undang-Undang Perpajakan dan Undang-Undang Penanaman Modal (by Kade, 2006), hal. 5
Akibatnya, harga yang terjadi terkadang bukanlah harga yang sewajarnya atau tidak sesuai juga dengan harga pasar saat terjadinya transaksi. dengan begitu, data-data dalam laporan keuangannya tidak akan sesuai dengan yang seharusnya. Karena dalam transaksi antar perusahaan anggota dalam suatu grup multinational transaction ini bisa timbul negosiasi—dan karena transaksi yang terjadi akan mempengaruhi 2 pihak, ada yang mendapat beban dan penghasilan—kecenderungannya adalah membuat bebannya seolah besar dalam perusahaan pembeli. Dalam praktik transfer pricing yang menyimpang ini, dipertimbangkan pula tarifpajaknya. Untuk negara dengan tariff pajak yang tinggi, pastinya mereka akan memanipulasi agar penghasilannya rendah dengan memanage biayanya agar setinggi mungkin dan mengalihkan penghasilannya kepada yang pajaknya lebih sedikit. Tak jarang pula suatu negara hanya digunakan sebagai tempat ‘transit’ dalam upaya praktik transfer pricing ini. Gunadi dalam Imam Santoso mengatakan,”Fenomena yang agak memprihatinkan ialah mereka—pengusaha pada perusahaan-perusahaan multinasional—begitu tega membuat Indonesia sebagai loss center untuk perusahaan multinasionalnya. Operasi di Indonesia selama bertahun-tahun direkayasa untuk selalu rugi sehingga tidak pernah membayar pajak penghasilan badannya.” Perusahaan dapat direkayasa untuk terus rugi, padahal tetap terjadi pembayaran royalty atau imbalan jasa teknis dan jasa lain dari perusahaan Indonesia kepada perusahaan laindi mancanegara yang sebenarnya masih dalam satu grup dengan perusahaan yang ada di Indoensia. Struktur permodalan lebih banyak dibiayai pinjaman disbanding modal sendiri, pembayaran dividen dalam jumlah besar apabila perusahaan memperoleh laba, memanfaatkan celah ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda , maupun dengan memanfaatkan tax heaven country (negara-negara dengan beban pajak rendah dibandingkan Indonesia).
F. Penanganan Transfer Pricing
Negara berkembang, seperti Indonesia, menyadari bahwa korporasi multinasional dengan berbagai cara mempergunakan rekayasa transfer pricing untuk mengalihkan potensipajak Indonesia ke negara lain degan berbagai dalih, alasa, dan justifikasi. Oleh karena itulah, otoritas fiscal selalu memandang bahwa tujuan transfer pricing adalah untuk penghindaran pajak.
Praktik transfer pricing pada dasarnya dapat terjadi karena adanya suatu hubungan istimewa antarperusahaan yang berada dalam satu grupp perusahaan multinasional, sehingga mereka bisa bekerja sama dengan baik dalam penentuan harga transfer. Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 7, pengertian hubungan istimewa adalah
a) Perusahaan yang melalui satu atau lebih pearntara (intermediaries) mengendalikan atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries).
b) Perusahaan asosiasi (associated company)
c) Perorangan yang memiliki , baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hal suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan dan anggota keluarga keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor)
d) Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan , memimpin , dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota anggota dewan komisaris, direksi, dan manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut
e) Perusahaan dimana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam ( c ) atau (d) , atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Mencakup perusahaan yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama dari perusahaan pelapor dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota menajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.
Hubungan istimewa menurut Undang-Undang no. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. Undang-Undang no. 36 tahun 2008 tentang Pajak Pengahasilan dalam pasal 18 ayat (4) adalah sebagai berikut.
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), pasal 9 ayat (1) huruf f, dan pasal 10 ayat (1) dianggap apabila :
a. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain; hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan diantara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik lagsung maupun tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semend dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Selain hubungan istimewa, hal lain yang juga mesti diperhatikan dalam penanganan praktik transfer pricing adalah kewajaran dalam transaksi yang terjadi. Berkenaan dengan kewajaran, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan no. 17 menyatakan bahwa pengakuan akuntansi suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan pada suatu harga yang disepakati pihak yang bersangkutan. Harga yang berlaku antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertukaran antara pihak yang independent (arm’s length price). Pihak yang mempunyai hubungan istimewa mungkin mempunyai sutau tingkat keluwesan dalam proses penentuan harga yang tidak terdapat dalam transaksi antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Menurut arm’s length principle, harga-harga transfer seharusnya ditetapkan supaya dapat mencerminkan harga yang disepakati sebagaimana transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak terkait yang bertindak secara bebas. Apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa , maka kondisi dari transaksi antara perusahaan tersebut haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independent sehingga ketidaksesuaian dapat menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas fiscal.
Berkaitan dengan masalah kewajaran ini, Direktorat Jenderal Pajak, melalui Surat Edaran Dirjen Pajak no. SE-04/PJ.7/1993 menyebutkan bahwa kekurangwajaran dalam praktik transfer pricing dapat terjadi atas:
a. Harga penjualan
b. Harga pembelian
c. Alokasi biaya administrasi dan umu (overhead cost)
d. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)
e. Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalty, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya
f. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
g. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company, atau reinvoicing center)
Untuk mengatasi penyebab-penyebab utama praktik transfer pricing tersebut, Undang-undang telah memberikan sebuah wewenang kepada otoritas fiscal dan pemerintah. Dalam pasal 18 UU PPh ada beberapa wewenang yang telah diberikan undan-undang sebagai berikut.
Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan pengihtungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Besarnya penyertaanmodal wajib pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. Secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertann modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubunngan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya plus, atau metode lainnya.
(3a) Direktur jenderal pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) , yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir
Dalam memori penjelasan pasal 18 ayat (3) dan (3a) dijelaskan maksud diadakan ketentuan ini sebagai berikut.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghidnaran pajak yang dapat terjadi karena hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, direktur jenderal pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya diantara para wajib pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya plus (cost plus method), atau metode lainnya sseperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method). …
catatan tambahan :
profit split methods dapat diterapkan apabila ;
1. Operasi dua atau lebih pihak nonarm’s length sangat terintegrasi sehingga sulit untuk mengevaluasi transaksi mereka secara individual; dan
2. Keberadaan aktiva tak berwujud tidak memungkinkan untuk menetapkan tingkat kesebandingan dengan uncontrolled transaction untuk menerapkan metode sepihak.
Profit split dan turunannya termasuk metode comparative dan residual. Profit split digunakan jika perusahaan yang terlibat dalam transaksi yang diperiksa terlalu terpadu sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi secara terpisah, sehingga keuntungan akhir dari masing-masing pihak dibagi berdasarkan tingkat kontribusi dari setiap perserta dalam proyek. Tingkat kontribusi itu sendiri ditentukan oleh bebrapa factor terukur seperti kompensasi karyawan, biaya administrasi, dll. Dari masing-masing pihak.
Transactional Net Margin Method (TNMM) merupaka metode yang berfokus pada laba operasi wajar yang diperoleh salah satu entitas (pihak yang diuji) dalam transaksi. TNMM menegaskan bahwa laba operasi relative (relative terhadap penjualan, HPP, atau aktiva untuk memungkinkan komparasi antara perusahaan atau transaksi yang berbeda) dapat lebih kuat mengukur harga pasar wajar jika metode pembandingan seperti pada metode tradisional tidak dapat dilakukan. Di USA, TNMM biasa dinamakan metode comparable profis methods (CPM) dan selain metode tramdisional. Merupakan metode penentuan harga pasar wajar yang paling banyak digunakan.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement) adalah kesepakatan antara wajib pajak dan direktur jenderal pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara wajib pajak dengan direktur jenderal pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan dan jumlah royalty dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA, selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual wajib pajak terhadap perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat berbentuk unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara direktur jenderal pajak dengan wajib pajak, atau bilateral, yaitu kesepakatan direktur jenderal pajak dengan otoritas perpajakan negara lainnya yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Untuk peraturan pelaksanaannya, maka diterbitkanlah SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus transfer pricing, yakni mengenai kekurangwajaran yang terjadi dan cara menentukan kewajarannya, dan Keputusan Dirjen Pajak no. KEP-01/PJ.7/1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. KEP-01/PJ.7/1993 terdiri atas enam bab , yakni
Bab I Pendahuluan
Berisi pedoman pemeriksaan pajak yang antara lain adalah
a. Mempelajari laporan pemeriksaan
b. Pelaksanaan pemeriksaan
c. Pembuatan laporan pemeriksaan
Bab III Teknik dan Metode Pemeriksaan
Berisi teknik dan metode pemeriksaan. Teknik yang digunakan adalah yang disebutkan dalam pedoman pemeriksaan. Metode pemeriksaan yang digunakan adalah metode tidak langsung, antara lain :
1. Metode harga pasar sebanding
2. Metode harga jual minus atau harga jual kembali
3. Metode harga pokok plus
4. Metode lainnya
Bab IV Studi dan Evaluasi Sistem Pengendalian Internal
Bab ini berisi studi dan evaluasi yang harus dilakukan oleh pemeriksa pajak. Studi dan evaluasi tersebut teridri atas studi SPT dalam pemeriksaan terhadap WP yang punya hubungan istimewa dan pengujian ketaatan.
Bab V Penyusunan Audit Program
Berisi program pemeriksaan umum, program pemeriksaan catatan-catatan nonfinansial, pemeriksaan pos-pos neraca, dan pemeriksaan pos-pos rugi laba.
Bab VI Kertas Kerja Pemeriksaan
Brerisi contoh kertas kerja pemeriksaan yang dipakai dalam rangka pemeriksaan pajak terhadap pihak-pihak yang punya hubungan istimewa.
Keseluruhan SE-04/PJ.7/1993 dan KEP-01/PJ.7/1993 ini terlampir dalam lampiran di makalah ini.
System Advane Price Agreement sebenarnya merupakan system yang terbaik untuk pencegahan kasus transfer pricing. Sekarang hanya perlu mengembangkan system ini dengan menjalin relasi yang lebih banyak lagi ke negara-negara lain dan lebih dekat lagi denga wajib pajak. berdasarkan Dewan Pengurus Pajak Dalam Negeri Inggris (The Board of Inland Revenu /TBIR) dalam Santoso (2004:137), system APA dirancang guna menawarkan jalan keluar yang lebih mudah bagi fiskus dan wajib pajak di dalam menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing. Sedangkan definisi umu APA adalah sebuah persetujuan tertulis antara wajib pajak, yang di dalam kasus ini adalah pengusaha, dan TBIR yang secara bersama-sama menentukan di depan suatu metode untuk menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing.
Setelah dicapai persetujuan diantara kedua belah pihak, keduanya memberikan jaminan bahwa metode tersebut diterima dan akan terus dipergunakan sebagai acuan dalam menentukan harga pasar wajar selama jangka wakktu yang telah disepakati.20)
APA memiliki empat tahap negosiasi :
(1) Wajib pajak secara sukarela menunjukkan ketertarikannya untuk menerapkan system APA dengan cara mengajukan permintaan kepada fiskus;
(2) Penyampaian aplikasi permohonan secara formal yang ditandai denga pemberian informasi yang ekstensif menegnai operasi usaha serta metode transfer pricing apa yang digunakan guna memperoleh harga pasar wajar dan mempersiapkan analisis yang mendalam mengenai perusahaan, pasar, dan persaingan yang harus dihadapi;
(3) Dilakukannya evaluasi oleh fiskus dengan cara melakukan audit lunak (lenient audit) untuk memastikan apakah semua perhitungan yang diajukan oleh wajib pajak dapat diterima; dan
(4) Tercaainya APA diantara kedua belah pihak.
Untuk mekanisme control yang dilakukan fiskus dalam penerapan APA, dengan cara mewajibkan wajib pajak untuk menyiapkan laporan tahunan dimana di dalamnya wajib pajak memberikan penjelasan mengenai
(i) Bagaimana APA yang telah disepakati diterapkan di tahun bersangkutan
20)Imam Santoso, op. cit., hal. 137
(ii) Menyerahkan laporan keuangan yang menunjukkan hasil dari penerapan metode transfer pricing yang disepakati
(iii) Menyerahkan hasil rekonsiliasi pembukuan yang telah disesuaikan dengan Undang-undang serta bukti pembayaran PPh badan; dan
(iv) Apabila terdapat kerugian yang dikompensasikan di tahun tersebut, wajib pajak harus dapat mendukungnya dengan data dan alasan yang kuat.
APA tidak berlaku lagi apabila :
1. Masa berlakunya telah habis dan pihak fiskus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, secara formal mencabut kesepakatan tersebut;
2. Salah satu atau lebih dari persyaratan yang tertuang di dalam persetujuan tersebut tidak dipatuhi oleh salah satu dan/atau kedua belah pihak.
BAB III
TRANSFER PRICING DALAM PT ASIAN AGRI GROUP (AAG)
A. Analisis Kasus Transfer Pricing PT Asian Agri Group (AAG)
PT Asian Agri adalah induk usaha terbesar jedua di Grup Raja Garuda Mas. Perusahaan ini milik Sukanto Tanoto, orang terkaya pada tahun 2006 versi majalah Forbes. Kerugain negara akibat kasus penggelapa pajak yan dilakukan oleh PT Asian Agri telah mencapai Rp 1,3 Triliun. Perhatian penuh pemerintah pun diberikan untuk menangani kasus pajak terbesar sepanjang sejarah perpajakan negeri ini.
Dari hasil penyelidikan petugas diketahui bahwa kapal induk bisnis terbesar kedua dalam kelompok usaha Raja Garuda Mas itu memanipulasi isi Surat Pemeberitahuan (SPT) Tahunan pajak selama tiga tahun, yakni sejak tahun 2002 hingga 2005. Modus yang dilakuakn oleh PT Asian Agri adalah dengan mennggelembungkan biaya, memperbesar kerugiasn transaksi ekspor, dan menciutkan hasil penjualan. Tujuannya adalam meminimalkan profit untuk menekan beban pajak. direktorat Jenderal Pajak telah menemukan bukti kuat Asian Agri menggelapkan pajak. perusahaan ini terbukti menggelembungkan biaya perusahaan sebesar Rp 1,5 Triliuun, membesarkan kerugian transaksi ekspor sebesar Rp 232 Miliar, dan mengecilkan hasil penjualan sebesar Rp 899 Miliar.
Berdasarkan bukti yang ada, hasil penghematan jumlah pajak yang harus disetor kepada kas negara itu dialirkan dari Indonesia ke sejumlah perusahaan afiliasi PT Asian Agri di luat negeri, seperti Hongkong, Makao, Mauritius, dan British Virgin Island lewat sejumlah transaksi. Menariknya lagi, terungkapnya kasus pengelapan pajak yang dilakuakan Asian Agri ini disebabkan oleh laporan dari Vincentius Amin Sutanto, mantan Group Financial ControllerAsian Agri. Vincentius melaporkan bekas perusahaan tempatnya bekerja tersebut karena tidak mendapatkan
pengamppunan dari sang taipan atas aksinya membobol rekening PT Asian Agri senilai US$ 3,1 juta di Bank Fortis, Singapura.
Terkait dengan aksinya ini, PT Asian Agri telah melanggar beberapa ketentuan yang dimuat dalam beberapa pasal dalam KUHP dan KUP.
Pasal 263 ayat 1 KUHP berbunyi ;
“ Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memaki surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Diancam, jika pemakai tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun”
Dalam hal ini PT Asian Agri telah dengan sengaja melakukan pemalsuan surat yang diperuntukkan sebagai bukti pelaporan penghitungan dan/atau pembayaran pajak. Surat yang dipalsu oleh PT Asian Agri adalah Surat Pemberitahuan. Menurut pasal 1 angka 11 UU KUP, Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan//atau pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan pemalsuan ini, penerimaan negara rugi Rp 1,3 Triliun.
Selain memalsukan surat—dalam hal ini SPT—PT Asian Agri juga seklaigus sebagai pihak pengguna surat yang telah dipalsukan tesebut, sehingga PT Asian Agri juga telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 263 ayat 2 KUHP yang berbunyi ;
“ diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”
Selain melanggar pasal-pasal berkenaan dengan pemalsuan surat tersebut, PT Asian Agri juga melanggar ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana penggelapan, yakni KUHP pasal 372 yang berbunyi ;
“barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapu yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh juta rupiah.”
Pengakuan barang milik sendiri disini—yang terjadi dalam PT Asian Agri—adalah sejumlah uang yang sebenarnya merupakan pajak. pajak tersebut seharusnya dibayarkan kepada kas negara dan menjadi milik negara untuk kepentingan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terkait dengan penggelapan pajak ini, PT Asian Agri dapat dituntut dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh juta rupiah.
Pasal lain yang mengatur mengenai tindak pidana penggelapan adalah pasal 374 KUHP yang berbunyi;
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya atau karena mendapatkan upah untuk itu, diancam denga pidana pejara paling lama lima tahun.”
Selain pelanggaran yang dijerat dengan pasal-pasal KUHP sebagai lex generalis di atas, PT Asian Agri juga melanggar ketentuan dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagai lex specialis. Dalam pasal 39 UU KUP 1984 berbunyi :
Setiap orang yang dengan senngaja :
…
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak beanr atau tidak lengkap;
e. ...
Sehinga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidan penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan denda paling sedikit 2(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Berdasarkan pasal 39 UU KUP 1984 ini, PT Asian Agri data dituntut dengan pidana tersebut di atas. Dengan begitu, pokok pajak dan sanksi yang harus dibayarkan oleh PT Asian Agri adalah sekitar Rp 3,9 T – Rp 6,5 T.
Dari kasus Asian Agri ini, kita dapat mengetahui bagaimana suatu kasus itu sangat tersusun rapid an terstruktur. Seandainya tak ada yang melaporkan, mungkin kasus ini akan terus dilakukan dan akan menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Kasuskasus seperti ini sungguh sangat menarik perhatian karena jarang sekali ada, mugkin karena memang sangat sulit untuk mengungkapnya dan tentunya ini tidak terjadi hanya disini, tetapi pasti di beberapa usaha lainya.
B. Analisis Penanganan Kasus
Meskipun pemerintah telah menargetkan kasus PT Asian Agri selesai akhir Maret 2008, tetapu kenyataannya sampai bulan Februari 2009 masih belum ada keputusan pengadilan mengenai penyelesaian kasus ini. Di lain pihak, upaya penyelesaian kasus-kasus perpajakan juga harus mempertimbangkan efisiensi waktu penyelidikian. Jika waktu penyelidikan terlalu lama, sementara bukti sulit ditemukan untuk dibwa ke pengadilan, tentunya upaya penyelesaian kasus ini akan tidak efisien.
Untuk kasus semacam ini, Direktorat Jenderal Pajak menyelesaikannya di luar pengadilan atau out of court settlement. Penyelesaian di luar pengeadilan tersebut dipertimbangkan mengingat aspek kecepatan waktu dan penyelamatan pendapatan negara.
Penyelesaian kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri akan membutuhkan waktu yang lama apabila diselesaikan melalui pengadilan. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam menemukan bukti tindakan transfer pricing dengan menjual CPO dengan harga di bawah harga pasar dunia yang berbuntut pada penggelapan pajak. jika kasus-kasus pajak yang sulit dibuktikan di pengadilan tetap dipaksakan, justru potensi penerimaan negara dapat hilang. Jalur pengadilan pajak sangat bergantung pada temuan-temuan kantor pajak. namun, jika sulir dibuktikan, bisa jadi pengadilan justri memutuskan tidak ditemukan unsure kerugian negara.
Dugaan atau indikasi adanya transfer pricing tersebut harus didukung dengan data-data secara detail dan akurat mengenai berapa harga pasti penjualan CPO dalam transaksi yang dilakukan PT Asian Agri—ini bisa dilakukan dengan menggunakan meode dan teknik pemeriksaan sebagaimana yang telah diberikan, misalkan dengan menggunakan metode harga pasar sebanding. Tidak dibenarkan tindakan asal tuding, melainkan harus ada data yang pasti. Harga CPO dunia ditentukan atau berpatokan dengan harga pasar dunia di Rotterdam. Kesulitan pembuktian transfer pricing ini disebabkan harga minyak sawit dunia selalu berubah-ubah sehingga sulit dicari patokan harga, termasuk membandingkannya dengan harga pasar CPO di Rotterdam. Ketika kontrak ekspor terjadi, bisa saja harga pasar dunia di Rotterdam sedang tinggi, tetapi eksportir menjual lebih murah. Belum lagi biaya angkut, pajak ekspor, asuransi, dll.
Beberapa ahli, mengatakan bahwa permasalah kasus Asian Agri ini seharusnya dapat diselesaikanapabila PT Asian Agri mau membayra utang pokok pajak dan dendanya sebesar 400% atau senilai total 6,5 Triliun rupiah. Ancaman pidana hanyalah sebagai solusi terakhir jika WP tetap ingkar.
Kasus ini pada akhirnya tetap dilimpahkan ke pengadilan dan dirjen Pajak serta Kejagung setuju bahwa masalah ini adalah kasus pidana.
Berikut ini adalah history singkat kasus Asian Agri sejak awal :
Desember 2006
Vincentius A. Susanto menyerahkan data-data dugaan manipulasi pajak Asian Agri ke Komisi Pemberantasan Korupsi
16 Januari 2007
Tim pajak mengerebek kantor Asian Agri di Medan dan Jakarta
14 Mei 2007
Direktorat jenderal Pajak menyatakan telah menemukan bukti awal pidana pajak. kerugian negara Rp 786 M. lima direktur jadi tersangka. Tim pajak kemudian menemukan 1.133 dus dokumen Asian Agri di pertokoan Duta Merlin, Jakarta
25 September 2007
Direktorat jenderal Pajak mengumumkan telah menemukan bukti-bukti asli. Kerugian negara menjadi Rp 794 M. Pemanggilan tersangka dimulai.
25 April 2008
Tim pajak menyerahkan tiga berkas perkara ke Kejaksaan Agung
Tim pajak menetapkan 12 terssangka dan menyerahkan tujuh berkas pemeriksaan ke Kejagung. Total kerugian negara ditaksir Rp 1,3 T.
Mei 2008
Kejaksaan mengembalikan berkas perkara ke DJP. Alasannya, masih harus diperjelas soal pembuktian kerugian negara.
12 Juni 2008
Asian Agri mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan atas penyitaan yang dianggap tidak sah.
1 Juli 2008
Pengadilan Jakarta Seatan mengabulkan gugatan Asian Agri dan menganggap penyitaan tidak sah.
16 September 2008
Pajak menyita ulag tujuh truk dokumen ke kantor Asian Agri, tetapi ditolak.
Oktober 2008
Tim pajak kembali menyerahkan 14 berkas pemeriksaan , termasuk tujuh hasil revisi ke kejaksaan agung.
November 2008
Kejaksaan agung untuk kedua kalinya mengembalikan tujuh berkas perkara pertama ke DJP
Desember 2008
Tim pajak menyerahkan empat berkas perkara baru ke kejaksaan agung
Januari 2009
Tim pajak menyerahkan tiga berkas perkara terakhir ke kejaksaan agung
Maret 2009
Kejaksaan mengembalikan semua berkas hasil pemeriksaan ke tim pajak
3 April 2009
Gelar perkara Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung
Demikianlah pembahasan kami mengenai kasus Asian Agri yang telah diperiksa sekian lama dan telah berakhir 2009 silam.
UNTUK KELENGKAPAN ISI DAPAT DI DOWNLOAD DI SINI
1 comments:
Kabar Baik, Setiap Satu. Nama saya Aris Setymin Dari Indonesia tapi aku tinggal di Prahova Rumania, aku cepat-cepat ingin menggunakan media ini untuk berbagi kesaksian tentang bagaimana Tuhan mengarahkan saya untuk pemberi pinjaman kredit Legit dan nyata yang telah mengubah hidup saya dari rumput untuk rahmat, saya pernah menjadi miskin wanita tapi dia telah berubah saya untuk orang kaya sekarang, karena saya sekarang dapat membanggakan dari hidup sehat dan kaya tanpa stres atau kesulitan keuangan.
Setelah berbulan-bulan mencoba untuk mendapatkan pinjaman di internet, saya ditipu oleh perusahaan pinjaman lain untuk membayar jumlah total Rp98,700,500, saya menjadi begitu putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari pemberi pinjaman online yang sah yang tidak akan meningkatkan rasa sakit saya, jadi aku memutuskan untuk menghubungi seorang wanita yang baru saja pinjaman diterima secara online, kita membahas tentang masalah ini dan kesimpulan kami dia bercerita tentang seorang wanita bernama CYNTHIA JOHNSON yang merupakan CEO dari Cynthia Johnson Pinjaman Perusahaan.
Aku diterapkan untuk jumlah pinjaman ($520,000.00USD) dengan tingkat bunga rendah dari 2%, sehingga pinjaman disetujui dengan mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan pada transfer kredit, karena fakta bahwa tidak memerlukan agunan untuk transfer pinjaman, saya hanya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat lisensi kesepakatan dari mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam dan 20 menit pinjaman disetorkan ke rekening bank saya.
Jadi saya ingin saran siapa saja yang membutuhkan pinjaman untuk cepat menghubungi dia melalui: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dia tidak tahu bahwa saya melakukan ini dan saya berdoa agar Tuhan memberkati dia dan keluarganya untuk hal-hal baik yang telah dilakukan di hidupku. Anda juga dapat menghubungi saya di arissetymin@gmail.com untuk info lebih lanjut. dan di sini adalah email dari teman saya: ladymia383@gmail.com yang memperkenalkan saya kepada Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia.
Post a Comment